DAMPAK PERTUMBUHAN INDUSTRI
TERHADAP KELESTARIAN LINGKUNGAN
A. Latar
Belakang
Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya
negara-negara latin yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang
ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan
ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini
terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh
negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara
pengadopsi hanya menjadi konsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena
tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi
dan industri dari negara maju. Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara
berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan
pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang menyebutkan bahwa untuk masuk
dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang
agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di
negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan
pembangunan berikutnya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi
dalam memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources),
agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh
manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia.
Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang
dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan
berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.
Disamping itu, iptek dan teknologi dikembangkan dalam
bidang antariksa dan militer, menyebabkan terjadinya eksploitasi energi, sumber
daya alam dan lingkungan yang dilakukan untuk memenuhi berbagai produk yang
dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse
effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan
meluasnya gurun, serta melumernya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan bumi
dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan karena
penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang.
Selain itu, terdapat juga indikasi yang memperlihatkan
tidak terkendalinya polusi dan pencemaran lingkungan akibat banyak zat-zat
buangan dan limbah industri dan rumah tangga yang memperlihatkan
ketidak-perdulian terhadap lingkungan hidup. Akibat-akibat dari
ketidak-perdulian terhadap lingkungan ini tentu saja sangat merugikan manusia,
yang dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
masalah pencemaran lingkungan baik oleh karena industri maupun konsumsi
manusia, memerlukan suatu pola sikap yang dapat dijadikan sebagai modal dalam
mengelola dan menyiasati permasalahan lingkungan.
Pengertian dan persepsi yang berbeda mengenai masalah
lingkungan hidup sering menimbulkan ketidak-harmonisan dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Akibatnya seringkali terjadi kekurang-tepatan dalam menerapkan
berbagai perangkat peraturan, yang justru menguntungkan perusak lingkungan dan
merugikan masyarakat dan pemerintah.
Itikad penanganan dan pemecahan masalah lingkungan
telah ditunjukkan oleh pemerintah melalui Kantor Menteri Lingkungan Hidup yang
mempersyaratkan seluruh bentuk kegiatan industri harus memenuhi ketentuan Amdal
dan menata hasil buangan industri baik dalam bentuk padat, cair maupun gas.
Disamping itu, berbagai seruan dan ajakan telah disampaikan kepada konsumen dan
rumah tangga pengguna produk industri yang buangannya tidak dapat diperbaharui
ataupun didaur ulang.
B.
Kelestarian Lingkungan Alam
1. Industri Dan Pencemaran Lingkungan
Jika kita ingin menyelamatkan lingkungan kita dan
menjaga kelestarian lingkungan, maka perlu adanya itikad yang kuat dan kesamaan
persepsi dalam pengelolaan lingkungan yang kita tempati. Pengelolaan lingkungan
hidup dapatlah diartikan sebagai usaha secara sadar untuk memelihara atau
memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan
sebaik-baiknya.
Memang manusia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungannya, secara hayati ataupun kultural, misalnya manusia dapat
menggunakan air yang tercemar dengan rekayasa teknologi (daur ulang) berupa
salinisasi, bahkan produknya dapat menjadi komoditas ekonomi. Tetapi untuk
mendapatkan mutu lingkungan hidup yang baik, agar dapat dimanfaatkan secara optimal
maka manusia diharuskan untuk mampu memperkecil resiko kerusakan lingkungan.
Dengan demikian, pengelolaan lingkungan dilakukan
bertujuan agar manusia tetap "survival". Hakekatnya manusia
telah "survival" sejak awal peradaban hingga kini, tetapi peralihan
dan revolusi besar yang melanda umat manusia akibat kemajuan pembangunan,
teknologi, iptek, dan industri, serta revolusi sibernitika, menghantarkan
manusia untuk tetap mampu menggoreskan sejarah kehidupan, akibat relasi
kemajuan yang bersinggungan dengan lingkungan hidupnya. Karena jika tidak mampu
menghadapi berbagai tantangan yang muncul dari permasalahan lingkungan, maka
kemajuan yang telah dicapai terutama berkat ke-magnitude-an teknologi
akan mengancam kelangsungan hidup manusia.
2. Dampak industri
terhadap kelestarian lingkungan
Dengan semakin
maraknya industri besar yang berdiri. Maka mulailah timbul tumpukan
limbah yang tidak dibuang sebagaimana mestinya. Hal itu berakibat pada
kehidupan kita yang tidak sehat sehingga menurunkan kualitas kehidupan terutama
pada kondisi lingkungan sekitar. Memang kemajuan dibidang industri tidak bisa
dipungkiri, karena adanya pengaruh globalisasi yang memudahkan kita untuk
mendapatkan berbagai kemudahan yang tersedia. Berbagai masalahpun akan timbul
akibat pertumbuhan industri diantaranya:
·
Pencemaran udara
·
Pencemaran
air
·
Pencemaran tanah
·
Pencemaran suara
·
Global warming
Joseph Schumpeter (dalam Marchinelli dan Smelser,1990
:14-20) mengisyaratkan tentang pentingnya inovasi dalam proses pembangunan
ekonomi di suatu negara. Dalam hal ini, pesatnya hasil penemuan baru dapat
dijadikan sebagai ukuran kemajuan pembangunan ekonomi suatu bangsa.
Dari berbagai tantangan yang dihadapi dari perjalanan
sejarah umat manusia, kiranya dapat ditarik selalu benang merah yang dapat
digunakan sebagai pegangan mengapa manusia "survival" yaitu oleh
karena teknologi.
Teknologi memberikan kemajuan bagi industri baja,
industri kapal laut, kereta api, industri mobil, yang memperkaya peradaban
manusia.. Teknologi juga mampu menghasilkan sulfur dioksida, karbon dioksida, CFC,
dan gas-gas buangan lain yang mengancam kelangsungan hidup manusia akibat
memanasnya bumi akibat efek "rumah kaca".
Teknologi yang diandalkan sebagai istrumen utama dalam
"revolusi hijau" mampu meningkatkan hasil pertanian, karena adanya
bibit unggul, bermacam jenis pupuk yang bersifat suplemen, pestisida dan
insektisida. Dibalik itu, teknologi yang sama juga menghasilkan berbagai jenis
racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungannya, bahkan akibat rutinnya
digunakan berbagi jenis pestisida ataupun insektisida mampu memperkuat daya
tahan hama tananam misalnya wereng dan kutu loncat.
Teknologi juga memberi rasa aman dan kenyamanan bagi
manusia akibat mampu menyediakan berbagai kebutuhan seperti tabung gas
kebakaran, alat-alat pendingin (lemari es dan AC), berbagai jenis aroma parfum
dalam kemasan yang menawan, atau obat anti nyamuk yang praktis untuk
disemprotkan, dan sebagainya. Serangkai dengan proses tersebut, ternyata CFC (chlorofluorocarbon)
dan tetra fluoro ethylene polymer yang digunakan justru memiliki
kontribusi bagi menipisnya lapisan ozone di stratosfer.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama
negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka
meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi
akibat yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus berbagai jenis
tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis fauna yang langka.
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang
disumbangkan oleh teknologi dan sektor industri di Indonesia, sesungguhnya
telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran
lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik,
Surabaya, Jakarta, Bandung Lhokseumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir
seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga
banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut tergolong
berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, adapun kerusakan
lingkungan akibat industrialisasi di beberapa kota di Indonesia, yaitu:
- Terjadinya
penurunan kualitas air permukaan di sekitar daerah-daerah industri.
- Konsentrasi
bahan pencemar yang berbahaya bagi kesehatan penduduk seperti merkuri, kadmium,
timah hitam, pestisida, pcb, meningkat tajam dalam kandungan air permukaan dan
biota airnya.
- Kelangkaan
air tawar semakin terasa, khususnya di musim kemarau, sedangkan di musim
penghujan cenderung terjadi banjir yang melanda banyak daerah yang berakibat
merugikan akibat kondisi ekosistemnya yang telah rusak.
- Temperatur
udara maksimal dan minimal sering berubah-ubah, bahkan temperatur tertinggi di
beberapa kola seperti Jakarta sudah mencapai 37 derajat celcius.
- Terjadi
peningkatan konsentrasi pencemaran udara seperti CO, NO2r SO2,
dan debu.
- Sumber daya
alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin menipis, seperti minyak bumi
dan batu bara yang diperkirakan akan habis pada tahun 2020.
- Luas hutan
Indonesia semakin sempit akibat tidak terkendalinya perambahan yang disengaja
atau oleh bencana kebakaran. Kondisi hara tanah semakin tidak subur, dan lahan
pertanian semakin menyempit dan mengalami pencemaran.
3. Limbah dan Masalahnya
Karena
limbah dibuang ke lingkungan, maka masalah yang ditimbulkannya merata dan
menyebar di lingkungan yang luas. Limbah gas terbawa angin dari satu tempat ke
tempat lainnya. Limbah cair atau padat yang dibuang ke sungai, dihanyutkan dari
hulu sampai jauh ke hilir, melampaui batas-batas wilayah akhirnya bermuara di
laut atau danau, seolah-olah laut atau danau menjadi tong sampah.
Limbah
bermasalah antara lain berasal dari kegiatan pemukiman, industri, pertanian,
pertambangan dan rekreasi.
Limbah pemukiman selain berupa limbah padat yaitu
sampah rumah tangga, juga berupa tinja dan limbah cair yang semuanya dapat
mencemari lingkungan perairan. Air yang tercemar akan menjadi sumber penyakit
menular.
Limbah industri baik berupa gas, cair maupun padat
umumnya termasuk kategori atau dengan sifat limbah B3.
Kegiatan
industri disamping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, ternyata juga
menghasilkan limbah sebagai pencemar lingkungan perairan, tanah, dan udara. Limbah
cair, yang dibuang ke perairan akan mengotori air yang dipergunakan untuk
berbagai keperluan dan mengganggu kehidupan biota air. Limbah padat akan
mencemari tanah dan sumber air tanah.
Limbah
gas yang dibuang ke udara pada umumnya mengandung senyawa kimia berupa SOx,
NOx, CO, dan gas-gas lain yang tidak diinginkan. Adanya SO2
dan NOx di udara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat
menimbulkan kerugian karena merusak bangunan, ekosistem perairan, lahan
pertanian dan hutan.
Limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari
industri kimia. Limbah dari industri kimia pada umumnya mengandung berbagai
macam unsur logam berat yang mempunyai sifat akumulatif dan beracun (toxic)
sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia.
Limbah
pertanian yang paling utama ialah pestisida dan pupuk. Walau pestisida
digunakan untuk membunuh hama, ternyata karena pemakaiannya yang tidak sesuai
dengan peraturan keselamatan kerja, pestisida menjadi biosida–pembunuh
kehidupan. Pestisida yang berlebihan pemakaiannya, akhirnya mengkontaminasi
sayuran dan buah-buahan yang dapat menyebabkan keracunan konsumennya.
Pupuk
sering dipakai berlebihan, sisanya bila sampai di perairan dapat merangsang
pertumbuhan gulma penyebab timbulnya eutrofikasi. Pemakaian herbisida
untuk mengatasi eutrofikasi menjadi penyebab terkontaminasinya ikan, udang dan
biota air lainnya.
Pertambangan
memerlukan proses lanjutan pengolahan hasil tambang menjadi bahan yang
diinginkan. Misalnya proses di pertambangan emas, memerlukan bahan air raksa
atau mercury akan menghasilkan limbah logam berat cair penyebab keracunan
syaraf dan merupakan bahan teratogenik.
Kegiatan
sektor pariwisata menimbulkan limbah melalui sarana transportasi, dengan limbah
gas buang di udara, tumpahan minyak dan oli di laut sebagai limbah perahu atau
kapal motor di kawasan wisata bahari.
3.1. Limbah B3
(Bahan Berbahaya dan Beracun) dan Kesehatan
Dalam
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pada pasal 1 butir 1
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan yang sejahtera
dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
Adapun derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 4
faktor, yaitu :
- Faktor
Lingkungan
- Faktor
Perilaku
- Faktor
Pelayanan Kesehatan
- Faktor
Bawaan (Keturunan)
Dari
keempat faktor tersebut, faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar
pengaruhnya dibandingkan dengan ketiga faktor yang lain.
Pada umumnya, bila manusia dan lingkungannya berada
dalam keadaan seimbang, maka keduanya berada dalam keadaan sehat. Tetapi karena
sesuatu sebab sehingga keseimbangan ini terganggu atau mungkin tidak dapat
tercapai, maka dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan.
Keseimbangan
tersebut sangat kompleks. Dari lingkungan alaminya manusia mengambil makanan
dan sumber daya lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan materinya, ke
lingkungan alami pula manusia membuang berbagai bahan buangan baik dari
badannya maupun dari proses produksinya.
Proses
pengambilan maupun pembuangan ini bila tidak terkendali, menimbulkan dampak
terhadap lingkungan yang dapat merugikan bagi kehidupan manusia itu sendiri,
antara lain gangguan kesehatan, gangguan kenyamanan, gangguan ekonomi dan
sosial. Dalam hal tersebut diatas yang perlu kita cermati adalah bahwa alam
mempunyai daya dukung dan daya tampung yang terbatas. Bila pengelolaannya tidak
seimbang maka kelestarian lingkungan juga akan terganggu.
Perilaku
manusia yang tidak sehat, akan memperburuk kondisi lingkungan dan menyebabkan
kelestarian lingkungan tidak terjaga dengan timbulnya “man made breeding
places” bagi kuman dan vektor penyakit maupun sumber pencemar yang dapat
memajani manusia.
Selaras
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bertambahnya jumlah penduduk
dengan mobilitas yang cepat, sangat berpengaruh terhadap kebutuhan manusia yang
tidak hanya kebutuhan dasar saja. Dari kebutuhan dasar yang berupa makanan dan
sandang sampai pada kebutuhan materi sebagai hasil proses industri, memunculkan
kecenderungan semakin meningkatnya tempat / kegiatan yang juga menghasilkan
limbah berupa bahan berbahaya dan beracun bagi kehidupan manusia maupun makhluk
hidup lainnya.
Kondisi
tersebut, bila tidak terkendali akan menimbulkan masalah kesehatan yang semakin
berat dan luas dengan semakin tingginya angka kesakitan, baik karena penyakit
infeksi maupun non infeksi sebagai akibat dari pencemaran lingkungan oleh
bahan-bahan yang tidak diinginkan.
Beberapa
tahun terakhir ini telah terjadi transisi epidemiologik, yaitu bergesernya pola
penyakit yang sebelumnya didominasi oleh penyakit infeksi, pada saat ini
penyakit non infeksi antara lain hipertensi, jantung, diabetes melitus,
gangguan fungsi ginjal, kanker, lebih menonjol dibanding tahun-tahun
sebelumnya.
4. Toksikologi
Lingkungan
Karena
limbah industri pada umumnya bersifat sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3),
maka substansi atau zat beracun di lingkungan yang sangat menjadi perhatian
ialah yang bersumber pada kegiatan manusia yang dibuang ke lingkungan sebagai
limbah.
Karena
kajian toksikologi adalah bahan beracun, maka obyek toksikologi lingkungan
ialah limbah kimia yang beracun, umumnya termasuk kelompok limbah bahan
berbahaya dan beracun (hazardous waste and toxic chemical).
Sedangkan yang dimaksud dengan toxicology
lingkungan adalah pengetahuan yang mempelajari efek substansi toksik (beracun)
yang terdapat di lingkungan alam maupun lingkungan binaan; mempelajari dampak
atau resiko keberadaan substansi tersebut terhadap makhluk hidup.
Didalam
Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun, yang dimaksud dengan B3 dapat diartikan “Semua
bahan/senyawa baik padat, cair, ataupun gas yang mempunyai potensi merusak
terhadap kesehatan manusia serta lingkungan akibat sifat-sifat yang dimiliki
senyawa tersebut”.
Limbah
B3 diidentifikasi sebagai bahan kimia dengan satu atau lebih karakteristik :
- mudah
meledak
- mudah
terbakar
- bersifat
reaktif
- beracun
- penyebab
infeksi
- bersifat
korosif.
Toksikologi
lingkungan menjadi sangat penting, karena kenyataannya adalah bahwa yang paling
merasakan dampak suatu kegiatan adalah manusia, bagian dari makhluk hidup.
Kata
racun (toksin, toksikan) memang berhubungan dengan sistem kehidupan; sistem
biologi. Toksisitas suatu bahan kimia ditentukan dengan LD 50 atau LC 50, yaitu
dosis atau konsentrasi suatu bahan uji yang menimbulkan kematian 50 % hewan
uji.
Pada
manusia, sasaran toksikan pertama-tama adalah saluran pencernaan. Toksikan yang
masuk melalui makanan pertama kali di dalam mulut akan diabsorbsi atau
mengkontaminasi kelenjar ludah (saliva) yang kemudian dapat meracuni alat-alat
pencernaan, dan selanjutnya menyebar ke organ vital lainnya.
Limbah
B3 dari kegiatan industri yang terbuang ke lingkungan akhirnya akan berdampak
pada kesehatan manusia. Dampak itu dapat langsung dari sumber ke manusia,
misalnya meminum air yang terkontaminasi atau melalui rantai makanan, seperti
memakan ikan yang telah menggandakan (biological magnification) pencemar
karena memakan mangsa yang tercemar.
5. Penyebab terjadinya masalah pencemaran dan cara
mengatasinya
1. Pencemaran
udara :
- Asap
kendaraan bermotor yang terlalu banyak juga menyebabkan polusi udara
Cara mengatasinya :
a) Menggalakkan
penanaman pohon atau pun tanaman hias di sekitar kita pabrik.
Tanaman dapat menyerap gas-gas yang membahayakan bagi manusia. Tanaman
mampu memproduksi oksigen melalui proses fotosintesis. Rusaknya hutan
menyebabkan jutaan tanaman lenyap sehingga produksi oksigen bagi atmosfer jauh
berkurang, di samping itu tumbuhan juga mengeluarkan uap air, sehingga
kelembapan udara akan tetap terjaga.
a) Pada pabrik
perlu dilengkapi dengan alat penyaring yang dapat membersihkan asap limbah pabrik
tersebut dan cerobong asap juga perlu dipertinggi.
b) Pada
kendaraan bermotor knalpot perlu dilengkapi dengan alat penyaring asap yang
dapat mengurangi polusi udara.
c) Menempatkan
pabrik industri terpisah/ jauh dari permukiman penduduk.
2. Pencemaran
air :
- Pembuangan
limbah – limbah pabrik yang dibuang melalui saluran pembuangan air ke sungai –
sungai yang masih jernih
Cara mengatasinya : Sebaiknya limbah tersebut dibuat saluran sendiri dan
dimasukan kedalam IPAL (Instalasi Pembuangan Akhir Limbah)
3. Pencemaran
tanah :
- Kemasan
hasil produksi pabrik yang setelah dipakai oleh konsumen yang berupa kaleng
minuman atau plastik dibuang ke lingkungan sekitar yang membuat polusi tanah
Cara mengatasinya :
·
Sisa kemasan hasil produksi tersebut sebaiknya didaur ulang
agar dapat lebih bermanfaat atau dibuat kemasan yang ramah lingkungan.
·
Upaya pelestarian tanah dapat dilakukan dengan cara
menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali (reboisasi)
terhadap tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang
posisi tanahnya miring perlu dibangun terasering atau sengkedan, sehingga mampu
menghambat laju aliran air hujan.
4. Pencemaran
suara
- Suara-suara
yang keluar pada pabrik dapat mengakibatkan polusi udara dan bila berlangsung
secara terus menerus dalam waktu yang lama dapat mengganggu manusia bahkan
dapat mengakibatkan cacat pendengaran yang permanen
Cara
mengatasinya : Pada pabrik tersebut perlu dipasang peredam suara
agar tidak menimbulkan suara-suara yang keras
5. Global
warming :
- Produksi
parfum yang mengandung gas CFC mengakibatkan pengikisan ozon jika diproduksi
secara berlebih
- Limbah
pabrik yang berupa asap dan asap kendaraan mengakibatkan pengikisan ozon
yang juga disebut global warming.
Cara mengatasinya :
Memperbanyak penghijauan dan mengurangi sumber yang menyebabkan global warming.
4. Klasifikasi
Pencemaran Lingkungan
Masalah
pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam UU No. 4
Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan
atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan
oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau
tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga
unsur dalam pencemaran, yaitu : sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau
proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan
(hidup/mati) pada lingkungan, dan merosotnya fungsi lingkungan dalam menunjang
kehidupan.
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam
bentuk menurut pola pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (1996:
102), mengelompokkan pencemaran alas dasar :
a. Bahan
pencemar yang menghasilkan bentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik, dan
budaya;
b. Pengelompokan
menurut medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran udara, air, tanah,
makanan, dan sosial;
c. Pengelompokan
menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam bentuk primer dan sekunder.
Namun
apapun klasifikasi dari pencemaran lingkungan, pada dasarnya terletak pada
esensi kegiatan manusia yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang merugikan
masyarakat banyak dan lingkungan hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar